Minggu, 04 Desember 2011

Mengidentifikasi Komponen Ekosistem


v Keseimbangan Ekosistem
Dalam suatu ekosistem yang masih alami dan belum terganggu akan didapati adanya keseimbangan antara komponen-komponen penyusun ekosistem tersebut. Keadaan seperti ini disebut juga sebagai homeostatis, yaitu kemampuan ekosistem untuk dapat menahan berbagai perubahan dalam sistem secara menyeluruh. Sistem yang dimaksud meliputi penyimpanan zat hara, pertumbuhan dan perkembangan organisme yang ada, pelepasan zat hara di lingkungan, reproduksi organisme dan juga meliputi sistem penguraian jasad-jasad makhluk hidup yang telah mati.


v Interaksi dalam Ekosistem

Dalam ekosistem pasti ada interaksi atau hubungan timbal balik antara komponen yang satu dengan komponen yang lain. Interaksi yang ada bisa berupa interaksi yang saling menguntungkan, merugikan atau tidak berpengaruh terhadap satu dengan yang lainnya. Jenis-jenis interaksi tersebut, antara lain:

1.      Simbiosis mutualisme adalah interaksi antarorganisme yang saling menguntungkan. Contoh: kupu-kupu dengan tanaman berbunga.
2.      Simbiosis parasitisme adalah interaksi antarorganisme yang saling nmerugikan. Contoh: benda dengan tanaman inangnya.
3.      Simbiosis komensalisme adalah interaksi antarorganisme yang satu diuntungkan dan yang lain tidak dirugikan. Contoh: tanaman anggrek dengan pohon yang ditumpanginya.
4.      Kompetisi adalah jenis interaksi antarorganisme yang saling bersaing untuk bisa bertahan hidup. Contoh: tanaman padi dengan gulma.
5.       Netralisme adalah interaksi antarindividu yang saling lepas atau tidak saling memengaruhi. Contoh: kambing dengan kucing.
6.      Predatorisme adalah interaksi antarorganisme, di mana yang satu memakan yang lain. Contoh: harimau dengan rusa.


v Cara Tepat Mebgelola Lingkungan Hutan
Konsep tata ruang yang sejatinya menjadi panduan dalam menata lingkungan kita ternyata hanya menjadi tumpukan kertas yang tidak memiliki arti penting apa-apa. Akibatnya, lingkungan yang bersih dan sehat sampai sekarang hanya menjadi wacana di tingkat elite yang selalu menerima gaji besar dari uang rakyat sementara itu kerusakan lingkungan sendiri tidak dirasakan oleh para elite tersebut
untuk menilai apakah telah terjadi kerusakan lingkungan atau tidak, apakah terjadi penebangan hutan atau tidak, standarnya cukup sederhana. "Kita bisa melihat hewan-hewan di dalamnya apakah masih bisa bertahan atau tidak. Kalau hengkang berarti sudah terjadi pengrusakan lingkungan sebagai akibat penebangan pohon yang tidak mengenal ampun,"
beberapa spesies hewan di hutan kita belakangan ini semakin berkurang jumlahnya. Mereka hengkang mencari perlindungan baru. Kondisi ini seperti ini mudah dimengerti mengingat penebangan hutan selalu terjadi di mana-mana dan terjadi setiap saat. Di sebagian wilayah Indonesia terjadi illegal logging. Akibatnya, binatang-binatang liar yang terdapat di dalamnya kabur mencari tempat perlindungan baru, banjir di mana-mana, alam Indonesia tidak indah lagi, dan seterusnya.
Kerusakan lingkungan semakin menjadi-jadi jika melihat tidak ada-nya lagi hutan kota baik tingkat kecamatan maupun pedesaan. "Hutan-hutan kota yang dulunya menjadi ciri khas negeri ini sebagai warisan Belanda kini sudah berganti menjadi perumahan dan perkantoran. Bahkan belakangan mulai ditata lagi menjadi taman kota,"
v  Pendekatan Ekosistem, Kedekatan Sejarah & Kultural dalam Penataan Ruang Kelola SDA yang Demokratis-Partisipatif
Untuk menjamin keberlanjutan fungsi layanan sosial-ekologi alam dan keberlanjutan sumberdaya alam dalam cakupan wilayah yang lebih luas maka pendekatan perencanaan SDA dengan instrumen penataan ruang harus dilakukan dengan mempertimbangkan bentang alam dan kesatuan layanan ekosistem, endemisme dan keterancaman kepunahan flora-fauna, aliran-aliran energi sosial dan kultural, kesamaan sejarah dan konstelasi geo-politik wilayah. Dengan pertimbangan-pertimbangan ini maka pilihan-pilihan atas sistem budidaya, teknologi pemungutan/ekstraksi SDA dan pengolahan hasil harus benar-benar mempertimbangkan keberlanjutan ekologi dari mulai tingkat ekosistem lokal sampai ekosistem regional yang lebih luas. Dengan pendekatan ekosistem yang diperkaya dengan perspektif kultural seperti ini tidak ada lagi "keharusan" untuk menerapkan satu sistem PSDA untuk wilayah yang luas. Hampir bisa dipastikan bahwa setiap ekosistem bisa jadi akan membutuhkan sistem pengelolaan SDA yang berbeda dari ekosistem di wilayah lain.
Keberhasilan kombinasi beberapa pendekatan seperti ini membutuhkan partisipasi politik yang tinggi dari masyarakat adat dalam proses penataan ruang dan penentuan kebijakan pengelolaan SDA di wilayah ekosistem. Semakin tinggi partisipasi politik dari pihak-pihak berkepentingan akan menghasilkan rencana tata ruang yang lebih akomodatif terhadap kepentingan bersama yang "intangible" yang dinikmati bersama oleh banyak komunitas yang tersebar di seluruh wilayah ekosistem tersebut, seperti jasa hidrologis. Dalam konteks ini maka membangun kapasitas masyarakat adat yang berdaulat (mandiri) harus diimbangi dengan jaringan kesaling-tergantungan (interdependency) antar komunitas dan antar para pihak. Untuk bisa mengelola dinamika politik di antar para pihak yang berbeda kepentingan seperti ini dibutuhkan tatanan organisasi birokrasi dan politik yang partisipatif demokrasi (participatory democracy).
Kondisi seperti ini bisa diciptakan dengan 2 pendekatan. Cara pertama adalah pendekatan formal, yaitu dengan merubah sistem PEMILU yang ada saat ini menjadi sistem distrik dan pemilihan langsung untuk jabatan politik dimana rakyat yang memilih punya kontrol dan akses yang lebih baik terhadap proses dan substansi perubahan kebijakan melalui wakil rakyat yang dipilihnya. Cara kedua adalah pendekatan informal, misalnya dengan membentuk "Dewan Konsultasi Multi-Pihak tentang Kebijakan Sumber Daya Alam Wilayah/Daerah" atau "Forum Multi-Pihak Penataan Ruang Wilayah/Daerah" yang berada di luar struktur pemerintahan tetapi secara politis dan hukum memiliki posisi cukup kuat untuk melakukan intervensi kebijakan. Untuk wilayah/kabupaten yang populasi masyarakat adatnya cukup banyak, maka wakil masyarakat adat dalam lembaga seperti ini harus ada.





















                    Kesimpulan

Ekosistem terdiri dari dua komponen, yaitu komponen abiotik dan komponen biotik. Komponen Abiotik adalah komponen materi yang tergolong tak hidup, bersifat fisik dan kimiawi.  Contohnya  iklim (suhu, kelembaban, suaca, arah angin, dsb), senyawa anorganik (karbon, nitrogen, karbondioksida, air, dsb), dan senyawa organik (protein, lemak, karbohidrat,dsb).
Jumlah manusia yang kian meningkat dari waktu ke waktu  akan dapat berakibat menurunkan nilai ekosistem. Pemanfaatan sumber daya alam yang tak terkendali  dapat membawa ekosistem  secara keseluruhan menjadi tidak seimbang. Pengendalian jumlah populasi manusia perlu diatur agar tak melampaui kemampuan alam untuk mendukungnya.

Komponen ekosistem yang berupa energy ini amat penting dalam memelihara kelangsungan hidup komponen  yang ada dalam ekosistem tersebut. Komponen ekosistem alam berlaku hukum alam juga. Hukum  hukum  yang  berkaitan  dengan energy bagi makhluk hidup  diantaranya adalah hukum  termodinamika pertama dan hukum trmodinamika kedua.
Kemampuan berkembang biak suatu organisme banyak ditentukan oleh lingkungan hidupnya. Lingkungan akan menyediakan berbagai hal untuk kehidupan. Pertambahan jumlah individu dalam populasi bergantung pada pengadaan sumber daya alam dengan jumlah tertentu. Keadaan ini membetikan gambaran bahwa dalam lingkungan yang teraturpun, populasi jumlah manusia, hewan, dan tumbuhan cenderung masih dapat naik dan turun.
Naik turunya jumlah populasi bergantung pada pengadaan sumberdaya alam. Dengan sendirinya lewat persaingan akan dapat dikaji lebih jauh tentang bagaimana upaya untuk mengintensifikasi perjuangan hidup. Kehidupan tak bergejolak dan terjadinya interaksi dalam ekosistem, baik interaksi antar populasi dan dalam populasi sendiri menjadi harmonis sehingga dalam ekosistem dapat muncul keseimbangan dan ketenangan.
Keseimbangan dan ketenangan mengakibatkan perkembangbiakan menjadi lebih baik, seterusnya dalam populasi tentu akan berakibat bertambahnya jumlah anggota populasi tersebut. Sebaliknya bila perkembangbiakan tidak baik maka jumlah anggota populasi pertambahannya menjadi lambat, mengakibatkan kepadatan populasi agak kurang kehidupan menjadi tenang.
Konsep tata ruang yang sejatinya menjadi panduan dalam menata lingkungan kita ternyata hanya menjadi tumpukan kertas yang tidak memiliki arti penting apa-apa. Akibatnya, lingkungan yang bersih dan sehat sampai sekarang hanya menjadi wacana di tingkat elite yang selalu menerima gaji besar dari uang rakyat sementara itu kerusakan lingkungan sendiri tidak dirasakan oleh para elite tersebut
Proses interaksi akan menghasilkan aliran energy  dan makanan. Aliran energy dan makanan memungkinkan terjadinya siklus mineral yang terjalin dalam satu system yang dinamakan ekosistem, yang lazim disebut tata lingkungan.
Ekosistem terdiri dari dua komponen, yaitu komponen abiotik dan komponen biotik. Komponen Abiotik adalah komponen materi yang tergolong tak hidup, bersifat fisik dan kimiawi.  Contohnya  iklim (suhu, kelembaban, suaca, arah angin, dsb), senyawa anorganik (karbon, nitrogen, karbondioksida, air, dsb), dan senyawa organik (protein, lemak, karbohidrat,dsb).
Terhadap perkembangan populasi manusia ini daya dukung sumber daya alam menjadisemakin terbatas. Persyaratan dan tuntutan  hidup manusia berbeda dengan makhluk lain,menyebabkan manusia menghadapi berbagai tantangan. Jika pada bintang lebih terfokus pada upaya menemukan apa yang dapat dimakan pada hari ini dan bagaimana  mendapatkannya, maka pada manusia lebih kompleks lagi. Kelangsungan hidup jasmani  berkaitan dengan masalah energy, kependudukan, pelestarian lingkungan hidup dsb. Kelangsungan hidup rohanian  berkaitan dengan upaya mendapatkan ketentraman dan ketenangan hati, serta upaya untuk mendekatkan diri  pada sang maha pencipta dengan sebaik baiknya.
Keberhasilan kombinasi beberapa pendekatan seperti ini membutuhkan partisipasi politik yang tinggi dari masyarakat adat dalam proses penataan ruang dan penentuan kebijakan pengelolaan SDA di wilayah ekosistem. Semakin tinggi partisipasi politik dari pihak-pihak berkepentingan akan menghasilkan rencana tata ruang yang lebih akomodatif terhadap kepentingan bersama yang "intangible" yang dinikmati bersama oleh banyak komunitas yang tersebar di seluruh wilayah ekosistem tersebut, seperti jasa hidrologis. Dalam konteks ini maka membangun kapasitas masyarakat adat yang berdaulat (mandiri) harus diimbangi dengan jaringan kesaling-tergantungan (interdependency) antar komunitas dan antar para pihak. Untuk bisa mengelola dinamika politik di antar para pihak yang berbeda kepentingan seperti ini dibutuhkan tatanan organisasi birokrasi dan politik yang partisipatif demokrasi (participatory democracy).
·         Jenis-jenis interaksi ekosistem, antara lain:

7.      Simbiosis mutualisme adalah interaksi antarorganisme yang saling menguntungkan. Contoh: kupu-kupu dengan tanaman berbunga.
8.      Simbiosis parasitisme adalah interaksi antarorganisme yang saling nmerugikan. Contoh: benda dengan tanaman inangnya.
9.      Simbiosis komensalisme adalah interaksi antarorganisme yang satu diuntungkan dan yang lain tidak dirugikan. Contoh: tanaman anggrek dengan pohon yang ditumpanginya.
10.  Kompetisi adalah jenis interaksi antarorganisme yang saling bersaing untuk bisa bertahan hidup. Contoh: tanaman padi dengan gulma.
11.   Netralisme adalah interaksi antarindividu yang saling lepas atau tidak saling memengaruhi. Contoh: kambing dengan kucing.
12.  Predatorisme adalah interaksi antarorganisme, di mana yang satu memakan yang lain. Contoh: harimau dengan rusa.

           














Tidak ada komentar:

Posting Komentar